Keadilan dalam Penegakan Perpres No. 5 Tahun 2025

Penulis: Amirullah Syahruddin
(Eks Penggiat Budaya Kemendikbud Ristek RI / Ketua Yayasan Matankari Nusantara)


Kok ado monik dalam angkiang, koluo kan atau bunuo monciknyo, jan angkiang nan di panggang.”
(Jika ada tikus dalam rangkiang, keluarkan atau bunuh tikusnya, jangan rangkiangnya yang dibakar.)

Perpres No. 5 Tahun 2025 dan Urgensinya bagi Adat Matrilineal

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada 21 Januari 2025. Regulasi ini bertujuan untuk menertibkan penggunaan kawasan hutan yang tidak sah dan berlandaskan pada Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).

Secara prinsip, kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi penguasaan kawasan hutan secara ilegal, baik oleh individu, perusahaan, maupun pihak lain yang tidak memiliki izin resmi. Namun, dalam konteks masyarakat adat matrilineal, seperti di Jambi, Sumatra Barat, dan Riau, implementasi kebijakan ini memerlukan kepekaan budaya dan kehati-hatian hukum agar tidak justru merugikan masyarakat adat yang selama ini menjaga tanahnya.

Tanah Ulayat dan Hak Masyarakat Adat

Dalam sistem adat matrilineal, dikenal konsep Imbo Tanah Ulayat, yaitu hutan adat yang diwariskan turun-temurun dalam satu suku atau kaum. Tanah ulayat ini bukan tanah tak bertuan, melainkan memiliki pemilik yang jelas—dikelola oleh para pemuka adat dengan amanah untuk diwariskan kepada anak cucu kemanakannya.

Sayangnya, banyak kawasan hutan ulayat dikategorikan sebagai Hutan Lindung, HPT (Hutan Produksi Terbatas), atau HPH (Hak Pengusahaan Hutan) oleh pemerintah, tanpa mempertimbangkan kepemilikan adat yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, hak ulayat diakui selama masih ada dalam praktik masyarakat adat. Bahkan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012, dinyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, melainkan milik masyarakat adat.

Oleh karena itu, jika ada perusahaan atau pihak luar yang menguasai tanah ulayat secara ilegal, pemerintah seharusnya mengembalikan hak kepemilikannya kepada masyarakat adat setempat—bukan justru mengategorikannya sebagai tanah negara yang dapat dialihkan kepada pihak lain.

Kasus-Kasus Pengabaian Hak Ulayat

Sejarah telah mencatat berbagai kasus konflik tanah ulayat akibat kebijakan pemerintah yang kurang mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat, misalnya:

1. Kasus Nagari Air Bangis, Pasaman Barat, Sumatra Barat

Masyarakat adat setempat kehilangan ribuan hektare tanah ulayat karena diklaim sebagai kawasan hutan produksi yang kemudian diberikan kepada perusahaan sawit.

2. Kasus Talang Mamak, Indragiri Hulu, Riau

Hutan adat Talang Mamak yang telah dijaga turun-temurun dimasukkan ke dalam konsesi perusahaan kehutanan, sehingga masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah mereka sendiri.

Jika Perpres No. 5 Tahun 2025 tidak diterapkan dengan pengawasan ketat dan prinsip keadilan, kasus-kasus serupa berpotensi terjadi kembali di berbagai daerah.

Keadilan dalam Penegakan Perpres No. 5 Tahun 2025

“Kok ado moncik dalam angkiang, koluo kan atau bunuo monciknyo, jan angkiang nan di panggang.”
(Jika ada tikus dalam rangkiang, keluarkan atau bunuh tikusnya, jangan rangkiangnya yang dibakar.)

Dalam konteks Perpres ini, yang seharusnya ditindak adalah pihak yang menguasai kawasan hutan secara ilegal—bukan masyarakat adat yang telah menjaga hutan ulayatnya sejak dulu.

Pemerintah harus berhati-hati agar kebijakan ini tidak malah menjadi alat untuk menggusur masyarakat adat dari tanahnya sendiri. Sebab, dalam banyak kasus, yang merusak hutan bukanlah masyarakat adat, melainkan perusahaan yang masuk secara ilegal dan mengubah hutan menjadi perkebunan monokultur atau pertambangan.

Rekomendasi: Mencegah Ketidakadilan bagi Masyarakat Adat

Agar Perpres No. 5 Tahun 2025 tidak merugikan hak masyarakat adat, pemerintah perlu menerapkan langkah-langkah berikut:

1. Melibatkan Lembaga Adat dalam Verifikasi Tanah Ulayat

Pemerintah harus bekerja sama dengan ninik mamak, datuk, penghulu, dan pemuka adat untuk memastikan tanah ulayat tetap diakui sebagai milik masyarakat adat.

2. Membentuk Tim Independen untuk Mengkaji Kasus-Kasus Sengketa

Harus ada audit transparan terhadap kawasan hutan yang diklaim sebagai tanah negara, agar tidak terjadi pengambilalihan tanah ulayat yang tidak adil.

3. Memastikan Hutan Adat Tidak Dikategorikan sebagai Hutan Negara

Mengacu pada Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, hutan adat harus tetap menjadi hak masyarakat adat, bukan dialihkan sebagai bagian dari konsesi perusahaan atau kawasan hutan negara.

4. Menghukum Perusahaan dan Pihak yang Menguasai Hutan Secara Ilegal

Jangan sampai kebijakan ini justru mempermudah perusahaan mengambil tanah ulayat, sementara masyarakat adat yang telah menjaga hutan malah menjadi korban.

Kesimpulan

Perpres No. 5 Tahun 2025 merupakan kebijakan penting untuk menertibkan kawasan hutan yang dikuasai secara ilegal. Namun, dalam implementasinya, pemerintah harus berhati-hati agar tidak mengorbankan hak masyarakat adat yang telah menjaga tanahnya turun-temurun.

Tanah ulayat bukan tanah tak bertuan. Ia memiliki pemilik yang sah berdasarkan hukum adat yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa tanah ulayat tetap berada dalam pengelolaan masyarakat adat, bukan diberikan kepada pihak lain yang tidak memiliki hak sejarah atasnya.

Sejalan dengan prinsip keadilan adat dan hukum negara, penegakan Perpres harus ditujukan kepada pihak yang melanggar hukum, bukan kepada masyarakat adat yang menjaga kelestarian hutan ulayatnya sejak dulu.

Jika kebijakan ini diterapkan dengan benar, Perpres No. 5 Tahun 2025 bisa menjadi alat perlindungan hutan yang adil bagi semua pihak, termasuk masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga sejati lingkungan hidup.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *