Oleh: Amirullah Syahruddin
(Eks Penggiat Budaya Kemendikbud Ristek RI / Ketua Yayasan Matankari Nusantara)
Melihat kondisi terkini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang merupakan bagian inti dari wilayah Nusantara, sudah sepatutnya kita kembali kepada sistem tertua yang telah terbukti mampu menjaga keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sistem kedatuan adalah sistem pemerintahan yang telah lama diterapkan di Nusantara sebelum masuknya pengaruh kolonialisme dan sistem politik modern. Dalam sejarahnya, sistem ini terbukti mampu mengelola wilayah yang luas dengan keberagaman suku, budaya, dan adat istiadat yang tetap harmonis di bawah kepemimpinan para datu atau pemimpin adat yang memiliki legitimasi kuat di tengah masyarakatnya.
Sebagai contoh, sistem kedatuan tertua di Nusantara adalah Kedatuan Sriwijaya, yang juga merupakan pemerintahan tertua di wilayah ini. Kedatuan Sriwijaya berlangsung selama lebih dari lima abad, yakni dari abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan usia pemerintahan yang mencapai lebih dari 500 tahun, Sriwijaya menjadi bukti nyata bahwa sistem kedatuan mampu menjaga stabilitas politik, ekonomi, dan sosial dalam jangka waktu yang sangat panjang. Keberhasilannya dalam mengelola jalur perdagangan maritim, menjalin hubungan diplomasi dengan berbagai kerajaan asing, serta menjaga persatuan di antara wilayah-wilayah kekuasaannya menunjukkan bahwa sistem ini memiliki keunggulan yang relevan bahkan untuk masa kini.
Di era modern, sistem presidensial yang saat ini diterapkan di NKRI justru semakin memperlihatkan berbagai kelemahan. Kekuasaan yang terlalu terpusat pada satu figur pemimpin telah memicu berbagai ketegangan politik, perpecahan sosial, serta kegaduhan yang tidak berkesudahan. Dominasi kekuasaan yang terlalu powerful justru menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat.
Sebaliknya, sistem kedatuan menawarkan model pemerintahan yang lebih fleksibel dan sesuai dengan karakteristik masyarakat Nusantara. Sistem ini memungkinkan keterwakilan yang lebih adil, di mana pucuk-pucuk kepemimpinan dipegang oleh para pemimpin lokal yang berasal dari tiap negeri atau wilayah—yang dalam konteks saat ini setara dengan provinsi. Dengan demikian, pengambilan kebijakan akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat di tiap daerah, bukan hanya berpusat pada kepentingan elite politik di tingkat nasional.
Sudah saatnya kita mengkaji kembali sistem kedatuan sebagai alternatif dalam membangun pemerintahan yang lebih adil, harmonis, dan sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal Nusantara. Sebab, hanya dengan kembali ke akar sejarah dan budaya kita sendiri, Indonesia dapat menemukan jati dirinya sebagai bangsa besar yang berdaulat dan sejahtera.