Kisah Masjid Lautze di Jakarta, Imlek, dan Barisan Mualaf Tionghoa

Masjid Lautze di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Masjid ini bergaya arsitektur China/Net

JAKARTA (Beritadigital)- Lantunan dua kalimat Syahadat terdengar di sebuah bangunan bergaya arsitektur China. Seorang pria berpeci, tampak menuntun pria di depannya mengucap kalimat tersebut.

Tak lama setelahnya, pria berpeci itu kembali menuntun seorang wanita untuk mengikrarkan kalimat syahadat. Mulutnya melafalkan kalimat tersebut secara perlahan, yang diikuti wanita itu. Rabu (26/1), dua orang berikrar untuk menjadi muslim di tempat bernama Masjid Lautze itu.

Masjid Lautze terletak di Sawah Besar, Jakarta Pusat, bangunannya berbaur dengan ruko di kawasan pecinan Jakarta itu. Masjid ini tak memiliki kubah atau menara layaknya masjid pada umumnya. Bangunannya pun bercorak merah-kuning, khas rumah ibadah Konghucu.

Sejak 1997, tercatat lebih dari 1.500 orang menjadi mualaf di masjid ini. Yusman Iriansyah, Humas masjid tersebut mengatakan hampir 99 persen yang menjadi mualaf adalah etnis Tionghoa.

“Mayoritas 99 persen Chinese. Ada sih orang bule, Jepang, Korea, tapi kecil. Bahkan dari negeri Tiongkok juga ada, kebetulan lagi di Indonesia ingin syahadat di sini,” kata Yusman.

Awal Berdiri

Yusman bercerita awal masjid berdiri tidak lepas dari terbentuknya Yayasan Karim Oei. Yayasan ini didirikan oleh sahabat-sahabat Karim Oei dari berbagai ormas islam. Karim dinilai merupakan tokoh panutan.

“Beliau sosok yang patut diteladani karena beliau keturunan Tionghoa namun nasionalisme tinggi, berjuang bersama-sama, bersama Bung Karno dan lain-lain. Dia dikenal juga sebagai business man yang sukses. Juga dikenal tokoh agama, dia mualaf dan baru masuk islam,” kata Yusman.

Yayasan didirikan pada 1991, tiga tahun setelah Karim Oei meninggal. Tujuan pendirian saat itu, sebagai pusat informasi mengenal agama Islam bagi kalangan etnis Tionghoa.

“Karena kita anggap waktu itu kalangan Tionghoa masih perlu informasi tentang Islam, mungkin belum pas banget persepsi soal Islam, kita coba jadi pusat informasi,” ujarnya.

Ia mengatakan, yayasan itu disambut baik oleh kalangan etnis Tionghoa. Selain itu, dari yang awalnya berfungsi sebagai pusat informasi islam, lambat laun berkembang gagasan untuk menghadirkan tempat ibadah, apalagi, di kawasan Pecinan itu masih jarang ada masjid.

“Waktu itu status masih sewa ruko. Namanya masjid nyewa kan, kalau pemilik enggak mau perpanjang kan tamat juga, namanya sewa. Alhamdulillah ditawarin oleh pemilik ruko, tawarkan beli, pengurus belum punya dana waktu itu. Sehingga dicari donatur,” katanya.

Singkat cerita, bantuan datang dari BJ Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek). Ruko pun dibeli dan dihibahkan untuk Yayasan Karim Oei. Saat itu, Habibie juga merupakan ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Dalam perjalanannya, bangunan pun didesain mengikuti ornamen-ornamen khas Kelenteng. Tujuannya agar warga beretnis Tionghoa yang mau mengenal Islam merasa lebih familiar dan tidak canggung.

“Keberadaan kita diterima. Banyak sekali yang sekadar ingin tahu Islam bertanya-tanya, ada yang sudah lama niat jadi masuk Islam, sehingga ada tempat mereka ini langsung seperti gayung bersambut,” ujarnya.

Dari mulai berdiri, ia mengatakan Masjid Lautze belum melayani orang-orang yang ingin masuk islam. Biasanya, pihak masjid akan merekomendasikan agar ikrar memeluk Islam dilakukan di masjid besar lainnya.

Masjid Lautze diresmikan Habibie pada 1994. Sejak 1997, pihak pengurus mulai melayani orang-orang yang mau memeluk Islam lantaran banyaknya permintaan.

“Kalau kita lihat data sampai ribuan yang masuk islam gitu. Itu kita mulai mengislamkan tahun 1997, walaupun sudah banyak sebelumnya mereka yang mau masuk Islam, kita belum layani di sini. Tapi semakin banyak permintaan ingin syahadat di masjid Lautze ini, makanya 1997 baru lah kita melayani,” ujarnya.

Yusman mengatakan, berbeda dengan masjid lainnya yang terbuka 24 jam, Masjid Lautze memiliki jam operasional, yakni hingga pukul 17.00 WIB.

“Uniknya masjid kita dikenal masjid dua waktu. Waktu jam kerja aja, itu pun kalau tanggal merah, libur juga, tapi kalau tanggal merah hari Jumat, kita tetap buka. (Karena) kita jemaah banyak yang bukan warga sekitar sini. Kan orang pendatang, pekerja, jadi begitu abis jam kerja itu sepi, enggak ada orang jemaah. Masjid kita dikenal sebagai masjid transit, bukan masjid perkampungan,” katanya.

Meski masjid ini kental dengan nuansa Tionghoa dan menjadi tempat ribuan orang Tionghoa masuk Islam, tidak ada perayaan khusus saat Tahun Baru Imlek di tempat ibadah itu.

“Kita menjaga. Jangan sampai nanti terkesan ini Chinese muslim punya 3 hari raya. Kita khawatir bukan saat ini, tapi 50 tahun atau 100 tahun ke depan. Dari sekarang kita antisipasi,” kata Pengurus Yayasan Karim Oei, Naga Kunadi.

Namun ia mengatakan jika perayaan Imlek jatuh pada hari Minggu, pihaknya berinisiatif membuat kegiatan makan siang sewaktu pengajian, sedikit lebih istimewa.

“Kalau momentum imlek jatuh hari Minggu, sebelum pandemi, setiap hari Minggu ada pengajian rutin. Biasanya rutin kita itu tiap tengah hari ada makan siang. Maka kita bikin inisiatif, makanan kita bikin istimewa sedikit, itu pun dengan catatan kalau hari Minggu, kalau bukan ya yang mau merayakan silakan, yang enggak mau silakan,” ujarnya. (cnn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *