Menanti Buah Pasir, Kakao Terasa Manis

Bu Neneng, dengan biji Kakao kering hasil panen kebunnya

Ibu Neneng (53) tersenyum sumringah, buah Theobroma cacao berwarna kuning keemasan bersinar diterpa sang mentari menjelang siang. Sejenak, ia palingkan pandangan ke sosok yang tengah berpeluh, menyiang rerumputan yang mengganggu pohon kakao mereka di halaman belakang rumah. Pak Parjo (54), begitu ia akrab disapa, melambai ke arah sang istri dan tersenyum seakan berkata, “inilah harapan kita”.

Dua puluh tiga tahun lalu, Bu Neneng dan Pak Parjo memutuskan ikut program transmigrasi ke Pulau Sumatera, tepatnya di Riau. Pasangan yang sudah dikarunia dua orang anak kala itu, menginjakkan kakinya di Desa Pelambaian, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Begitu dinamai desa yang menjadi harapan kehidupan baru untuk pasangan yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah ini.

Tak teringat kampung halaman nan dingin nun di tanah periangan, Bu Neneng gigih turut membantu dan mendampingi sang suami membesarkan anak-anak mereka, berharap untuk sebuah masa depan yang cerah.

Angin semilir menerpa beranda belakang rumah bu Neneng. “Sungguh kami syukuri kerja keras ini. Perkebunan sawit dua hektare program pemerintah membuahkan hasil yang sangat melimpah. Anak-anak kami sudah sarjana dan masing-masing telah pula berumah tangga pula, Alhamdulillah,” kabarnya gembira kepada majalah Outsiders mengisahkan perjuangan sang suami yang mengantarkannya menjadi seorang petani dan tauke sawit.

Namun, kini gudang sebelah rumahnya tampak sepi dari aktifitas timbangan buah sawit. “Pohon sawit kini sudah tua, buahnya tidak seberapa. Dua tahun lagi akan ditebang, ditanam baru, kata suami istilahnya replanting,” ungkap Bu Neneng mengulang perbincangan dengan suaminya.

Ia mengambil keranjang plastik berisi buah Kakao yang sudah dikeringkan. Dalam sebulan akan terkumpul sekitar 45 kg dan dijual antara Rp 20.000,- hingga Rp 30.000,- perkilogram.

“Ini menjadi tambahan pendapatan kami, bersihnya kami dapat tujuh ratus ribu hingga satu juta perbulan. Masuk kantong saya ini,” ujarnya sambil tertawa reyah.

Pohon Kakao di halaman belakang rumahnya berjumlah sekitar 400 batang tersebar di atas lahan seluas lebih kurang setengah hektare. Bu Neneng menuturkan, pohon Kakaonya berusia hampir dua tahun. Dalam setahun pohon Kakao berbuah sebanyak dua kali. Tampak pohon Kakao setinggi 1,5 meter masih tergantung buah di dahan-dahan yang rendah.

“Setiap hari saya memeriksa buah yang matang, kemudian biji cokelat akan dijemur selama 3 atau 4 hari untuk mendapatkan kualitas yang bagus. Saya yakin sambil menanti buah pasir sawit, Kakaopun terasa manis,” terangnya dengan fasih.

Kegembiraan keluarga Bu Neneng dan Pak Parjo juga dirasakan oleh keluarga 30 anggota Koperasi Prima Jaya Tapung (Prijata) lainnya dalam penantian replanting sawit maupun harapan paska replanting sambil menunggu kejayaan sawit di lahan dua hektare mereka.

Sedia payung sebelum hujan, hingga siapkan Kakao jadi unggulan desa

Gerakan masyarakat Desa Pelambaian untuk menanam Kakao tak pelak dari wacana yang dilemparkan oleh Kepala Desa Pelambaian, Supriyono. Respon dari masyarakat sangat tinggi, guna mengantisipasi masa pra dan paska peremajaan sawit. Terbukti dalam dua tahun, sebagian masyakarat Desa Pelambaian sudah menuai panen dan berpenghasilan tambahan sebanyak Rp. 750.000,- hingga Rp. 1.000.000,- perbulan.

“Saya optimis, Kakao bukan hanya menjadi primadona Desa Pelambaian, namun bisa jadi ikon Riau di masa datang. Secara hitungan, satu hektare kebun Kakao sama dengan hasil enam hektare sawit. Saat ini, dengan usia 20 bulan saja, Kakao sudah menandingi harga 3: 1. Ini baru panen awal dengan tinggi pohon Kakao 1,5 meter,” ungkap Supriyono.

Usaha dan upaya masyarakat Desa Pelambaian, khususnya melalaui Koperasi Prima Jaya Tapung yang memiliki 5 divisi, salah satunya melalui bidang pembibitan varietas unggul akan memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan perekonomian masyarakat desa.

“Untuk bidang pelatihan pembibitan varietas unggul, pihak kami sudah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di Sulawesi, Sumatera Barat dan Aceh. Hasilnya, sumber benih yang resmi tidak diduga-duga direspon instansi sebagai satu-satunya Kakao terunggul di Riau,” ujarnya bangga.

Saat ini, Kelompok Tani Prima Jaya Tapung juga sudah memiliki Koperasi sehingga mempermudah masyarakatnya. “Koperasi tersebut juga andil dari PT CPI, yang mengucurkan modal awal sebagai motor penggerak usaha kakao di Desa Pelambaian. Kami sangat berterima kasih kepada PT. Chevron Pacifik Indonesia,” katanya.

Pusat pembibitan kakao varitas unggul dan bersertifikat dari Kelompok Tani Prima Jaya Tapung telah berkembang pesat. Bahkan tidak hanya di Desa Pelambaian, tapi juga di desa-desa lainnya di Kecamatan Tapung yang bergabung, antara lain Desa Sumber Makmur, Trimanunggal, Tanjung Sawit, Indra Sakti, Gading Sari, Kijang Rejo, Mukti Sari dan sebagainya.

Kini pembibitan kakao oleh masyarakat Desa Pelambaian sudah sampai ke kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Riau. Masyarakat setempat tidak hanya mendapat uang dari hasil menjual bibit, melainkan dari hasil memberikan pelatihan ke daerah-daerah lain.

Kelompok Tani Prima Jaya Tapung berkembang dengan profesional dan mampu menjaga mutu. Mereka juga membentuk divisi-divisi yang menangani dan mengawasi bidangnya masing-masing, termasuk pembimbingan terhadap desa-desa lainnya yang berada di bawah unit Prima Jaya Tapung.

Pemerintah desa mendukung pengembangan tanaman kakao, untuk pemberdayaan menggunakan dana desa antara lain Desa Bukit Payung, Desa Pelambaian, Desa Karya Indah Kecamatan Tapung serta Desa Laboy Jaya Kecamatan Bangkinang.

Program Investasi Sosial PT CPI

Angin segar datang dari Program investasi social pengembangan ekonomi PT CPI, yang didasari pada pemetaan social, disebut dengan PRISMA, singkatan dari Promoting Sustainable Integrated Farming, Small Medium Enterprise Cluster and Microfinance Access.

“Pada November 2016 lalu, PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) menggulirkan program PRISMA dengan penerima manfaat masyarakat Tapung, khususnya Desa Pelambaian. Warga desa inilah yang menjadi cikal dibentuknya ISP (Intermediate Service Provider/Induk Kelompok Binaan Prima Jaya Tapung. Prima Jaya Tapung telah menjadi denyut perekonomian masyarakat setempat,” ujar Sonitha Poernomo, Manager Corp. Communication PT CPI ditemui terpisah usai kunjungan lapangan bersama Yulia Rintawati, Media and Communication Specialist, Sabtu (2/3/2019) lalu.

Menurutnya, secara umum sejak diluncurkan pada Januari 2015 hingga Desember 2017, program PRISMA di Riau berhasil menjangkau hampir 2.200 petani dan pelaku usaha mikro secara langsung dari 41 kelompok yang tergabung dalam 21 induk kelompok binaan.

“Kami menangkap kekhawatiran petani kebun sawit Desa Pelambaian menghadapi memasuki masa peremajaan (replanting), pokok sawit yang tua ditebang untuk diganti dengan tanaman sawit baru. Masyarakat Desa Pelambaian Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar Provinsi Riau mencoba berkebun Kakao. Tanaman Kakao diketahui sangat produktif. Salah satu produk olahan unggulannya adalah cokelat. Atas dasar inilah kami memutuskan untuk memberikan pembinaan dan pendampingan,” katanya.

Pendampingan yang sudah dilakukan, rinci Sonitha diantaranya yaitu sosialisasi potensi sebagai sumber penghasilan tambahan, pengenalan praktek budidaya Kakao yang baik, pelatihan manajemen pembibitan, Teknik sambung pucuk dan sambung samping, perawatan serta penyusunan rencana usaha induk usaha binaan.

“Dengan terbentuknya Koperasi Prima Jaya Tapung, ke depan dengan segala kegiatan usaha akan dikelola bekerja sama dengan koperasi,” janjinya mengakhiri.

Reporter : Rosyita

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *