Oleh Amirullah Syahruddin
(Eks Penggiat Budaya Kemendikbud Ristek RI/Ketua Komite DKK)
Kenduri, atau yang dalam istilah adat Matrilineal disebut Bagholek (Bolek) Godang, adalah sebuah tradisi yang sangat kaya makna, terutama dalam konteks masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Tradisi ini tidak hanya ada di daratan Sumatra, tetapi juga di Kepulauan Riau, meski diadaptasi sesuai dengan ciri khas masyarakat kepulauan. Kenduri, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi medium penting untuk memperkuat nilai-nilai adat, sosial, dan spiritual, serta menjaga warisan budaya dari generasi ke generasi.
Makna Kenduri dalam Tradisi Matrilineal
Bagholek (Bolek) Godang atau Kendiluri yang dalam bahasa Indonesia berarti jamuan atau pertemuan Besar yang diiringi doa bersama, memiliki makna mendalam dalam masyarakat kaum suku ibu yakni matrilineal. Tradisi ini merupakan salah satu cara untuk mempererat hubungan sosial sekaligus memperingati peristiwa penting, seperti perayaan kelahiran, pernikahan, pengangkatan pemimpin adat, hingga upacara kematian. Di dalam sistem matrilineal, kenduri berfungsi sebagai sarana untuk meneguhkan peran kaum ibu sebagai penjaga adat dan penerus garis keturunan.
Dalam masyarakat Matrilineal misalnya, Bagholek (Bolek) Godang menjadi salah satu prosesi adat yang menunjukkan posisi perempuan sebagai kunci dalam kekerabatan. Melalui kenduri, perempuan tidak hanya diakui perannya sebagai pengelola rumah tangga, tetapi juga sebagai pemegang kedaulatan adat. Segala keputusan yang berhubungan dengan keluarga dan masyarakat seringkali melibatkan kaum ibu, sesuai dengan prinsip matrilineal yang mewariskan hak dan tanggung jawab melalui garis keturunan ibu. Maka bagholek (Bolek) Godang menjadi peristiwa penting yang terjadi di dalam kaum suku ibu (matrilineal).
Kenduri di Kepulauan Riau: Simbol Kebersamaan
Istilah Kenduri juga sangat populer di Kepulauan Riau, meskipun di wilayah ini sistem kekerabatan yang lebih umum adalah patrilineal. Kenduri di Kepulauan Riau berfungsi sebagai sarana untuk mempererat hubungan antarwarga dan memperkuat identitas komunal. Sebagai wilayah maritim dengan masyarakat yang sangat beragam, tradisi kenduri menjadi simbol harmoni dan persatuan. Melalui kenduri, masyarakat berkumpul untuk merayakan kebersamaan, mempererat tali silaturahmi, dan menghormati sesama.
Meskipun Riau Kepulauan memiliki konteks budaya yang sedikit berbeda dari daratan Riau, nilai-nilai yang terkandung dalam kenduri tetap sama: penghormatan terhadap tradisi, doa bersama untuk keberkahan, serta pengukuhan hubungan antarwarga. Di sini, kenduri bisa mencakup berbagai acara, seperti kenduri laut untuk meminta perlindungan dari bahaya di lautan, atau kenduri pernikahan yang mengukuhkan hubungan kekeluargaan.
Riau: Daratan dan Kepulauan, Warisan yang Berbeda
Perlu diketahui bahwa Provinsi Riau terdiri dari dua bagian utama: Riau Daratan dan Kepulauan Riau. Riau Daratan, yang termasuk dalam wilayah Sumatra Tengah, memiliki akar budaya yang kuat dalam tradisi matrilineal, terutama di daerah yang dikuasai oleh suku-suku dan Batin Bonai (Rokan) hingga kuala, Batin Sakai, (Tapung Siak) Hingga kuala dan Batin Petalangan, kurang nan tigo puluo Kampar hingga kuala terakhir Talang Manak batin kurang oso nan duo puluo (kuantan). Di sini, Bagholek (Bolek) Godang merupakan perwujudan dari sistem kekerabatan yang diwariskan dari kaum ibu Matrilineal.
Sebaliknya, Kepulauan Riau yang kini menjadi provinsi terpisah, lebih dipengaruhi oleh tradisi maritim dan perdagangan. Di wilayah ini, kenduri lebih terkait dengan budaya Melayu yang bersifat patrilineal, di mana laki-laki memegang peran dominan dalam keluarga dan masyarakat. Meskipun begitu, kenduri di Kepulauan Riau tetap menjadi simbol penting dari kebersamaan, tempat masyarakat merayakan momen penting dalam siklus kehidupan.
Peran Kenduri dalam Pelestarian Budaya
Dalam kedua konteks ini, baik Bagholek Godang maupun kenduri di Kepulauan Riau, tradisi ini memiliki peran sentral dalam menjaga kesinambungan budaya. Kenduri bukan hanya sekadar ritual makan bersama, tetapi juga sarana untuk merawat hubungan antarwarga, meresapi nilai-nilai spiritual, dan melestarikan adat istiadat dan seni budaya yang telah ada sejak zaman nenek moyang. Dalam masyarakat matrilineal, kenduri menjadi tempat untuk mempertegas kedudukan perempuan dalam adat, sementara di Kepulauan Riau, kenduri memperkokoh identitas kolektif sebagai masyarakat maritim yang hidup berdampingan dengan alam.
Ancaman modernisasi dan perubahan sosial memang tak bisa dihindari. Banyak generasi muda yang mulai melupakan makna mendalam dari Bagholek (Bolek) Godang atau kenduri, melihatnya hanya sebagai formalitas tanpa memahami esensi spiritual budaya dan sosial di baliknya.
Dimana Istilah Kenduri dan Dimana Pula Istilah Bagholek (Bolek) Godang Ditempatkan
Bagholek (Bolek) Godang dipakai dan dilaksanakan secara turun temurun oleh kaum suku ibu (matrilineal) kawasannya Sumatera Tengah.
Sedangkan Kenduri dilaksanakan di kepulauan Riau dan di daerah lainnya.
Maka pelestarian istilah harus menjadi pertimbangan penting, bagi dinas Pariwisata sebagai pelaksana hilir dari program yang ada. Sehingga kebudayaan sebagai hulu yang ada di kawasan darat ini dapat terpelihara dan terjaga serta terlestarikan dengan baik.
Namun, bagi masyarakat adat matrilineal yang masih menjaga tradisi ini, adalah cara untuk menyatukan generasi, memperkuat identitas budaya, dan menghadirkan nilai-nilai kebersamaan yang langka di era modern saat ini.
Kesimpulan
Bagholek (Bolek) Godang adalah representasi dari nilai-nilai kebersamaan, penghormatan terhadap leluhur, dan keberlangsungan adat tradisi budaya secara turun temurun. Dalam konteks matrilineal, tradisi ini memperkuat peran perempuan sebagai penerus adat dan penjaga garis keturunan. Di Kepulauan Riau, kenduri menjadi situlah yang menghubungkan masyarakat dalam ikatan kebudayaan dan sosial.
Di era modern ini, sudah sepatutnya dinas terkait dan seluruh elemen baik pemerintahan maupun masyarakat tetap menjaga Istilah yang ada sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya. Tidak tepat rasanya ditempat kawasan yang notabenenya memakai adat matrilineal, namun istilah dan konten isian rangkaian acara yang di tampilkan tidak mencerminkan budaya yang hidup dan berkembang di suatu wilayah atau kawasan yang telah memiliki adat tradisi sendiri.
Propinsi Sumatera Tengah yang di pecah pada tahun 1957 silam menjadi tiga propinsi yakni Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Kemudian propinsi kepulauan Riau mekar dari propinsi Riau pada 24 September 2002 yang lalu. Namun nama Riau tetap tinggal di daratan yang notabene nya adalah kaum matrilineal.
Semoga menjadi perhatian semua pihak.