PEKANBARU (Beritadigital) – Kementerian ESDM melalui Inspektur Tambang Provinsi Riau berhasil menertibkan dua tambang ilegal di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.
Hal itu setelah PT Batatsa Tunas Perkasa (BTP), PT Bahtera Bumi Melayu pada Selasa (11/1/2021) menyatakan akan menghentikan seluruh kegiatan penambangan mulai dari penggalian, pengangkutan dan penjualan tanah urug di Kelurahan Banjar XII Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir.
Penghentian ini hingga keluarnya Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP). Bocoran itu diperoleh redaksi pada Selasa sore (11/1/2022).
Tak hanya itu, Bahtera Bumi Melayu juga menyatakan berkomitmen memenuhi persyaratan administrasi, teknis, keuangan serta lingkungan untuk peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi sesuai ketentuan dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
“Apabila kami melanggar ketentuan peraturan perundang undangan maka kami siap untuk diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku sesuai Pasal 160 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara yang menyatakan bahwa setiap orang yang mempunyai IUP pada tahap kegiatan eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar,” ungkap Yuandi.
Sementara itu diberitakan sebelumnya, Tak butuh waktu lama, Inspektur Tambang Provinsi Riau Kementerian ESDM telah melacak dan memperoleh data-data PT Bahtera Bumi Melayu. Perusahaan ini diduga melakukan penambangan ilegal di Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
“Kami sudah mengantongi data-data mereka berikut alamat dan kontak mereka. Siang ini kami juga panggil PT Bahtera Bumi Melayu,” ungkap Koordinator Inspektur Tambang Provinsi Riau Diary Sazali Puri Dewa Tari, Selasa (11/1/2021) pagi.
PT Bahtera Bumi Melayu sebelumnya tidak ditemukan dalam penelusuran di laman resmi Geoportal Kementerian ESDM dan laman MODI Kementerian ESDM.
Belakangan diketahui, PT Bahtera Bumi Melayu ternyata berkududukan di Pekanbaru. Saham perusahaan ini dimiliki Yuandi Daniel Pasaribu dengan kepemilikan saham sebesar 70 persen. Sisanya, 30 persen saham dimiliki Sinur Mauliate Sitompul.
Yuandi sendiri diketahui berposisi sebagai Direktur PT Bahtera Bumi Melayu dan Sinur berposisi sebagai Komisaris PT Bahtera Bumi Melayu.
Sementara itu sebelumnya, Inspektur Tambang Provinsi Riau diketahui telah melayangkan surat ke Direktur PT Batatsa Tunas Perkasa (BTP) untuk hadir di kantor Inspektur Tambang Riau pada Selasa (11/1/2022) pagi.
Tak hanya itu, Inspektur Tambang Riau juga mengundang Direktur Ditreskrimsus Polda Riau untuk hadir di Kantor Inspektur Tambang Riau tersebut.
“Sehubungan dengan adanya dugaan aktifitas pertambangan ilegal yang dilakukan oleh PT Batatsa Tunas Perkasa di Kabupaten Rokan Hilir dan agar terwujudnya penerapan kaidah pertambangan yang baik maka dengan ini kami mengundang Bapak/Ibu untuk hadir pada Selasa 11 Januari 2022 di Ruang Rapat Kantor Inspektur Tambang Riau,” tulis Inspektur Tambang Riau dalam surat panggilan tertanggal 10 Januari 2022 tersebut.
Koordinator Inspektur Tambang Provinsi Riau Diary Sazali Puri Dewa Tari ketika dikonfirmasi tidak menampik adanya surat panggilan tersebut.
Ia juga mengakui, mengalami kesulitan untuk menghubungi dan mengetahui identitas PT Bahtera Bumi Melayu, karena di Portal ESDM dan MODI belum terdaftar.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, mencuat dugaan kuat PT Batatsa Tunas Perkasa dan PT Bahtera Bumi Melayu melakukan pertambangan ilegal untuk memasok tanah urug kebutuhan lokasi tapak sumur bor minyak PT Pertamina Hulu Rokan di Wilayah Kerja Migas Blok Rokan di Provinsi Riau.
Kedua perusahaan itu diketahui merupakan pemasok untuk PT Rifansi Dwi Putra yang merupakan vendor PT Pertamina Hulu Rokan dalam penyiapan lokasi sumur bor tersebut.
Belakangan terungkap, PT Batatsa Tunas Perkasa dan PT Bahtera Bumi Melayu diduga kuat melakukan kegiatan operasi pengurugan tanah pada saat mereka memiliki Izin Usaha Pertambangan yang masih berstatus eksplorasi dan bukan berstatus operasi produksi.
Sebagaimana diketahui, Pasal 160 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batubara menyatakan bahwa setiap orang yang mempunyai IUP pada tahap kegiatan eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.