Oleh: Amirullah Syahruddin
(Eks Penggiat Budaya Kemendikbud Ristek RI / Ketua Yayasan Matankari Nusantara)
Di tengah riuh narasi sejarah Indonesia yang sering memusat pada Jawa, prasasti-prasasti dari Sumatera sesungguhnya menyimpan kunci besar memahami akar peradaban Nusantara. Salah satunya adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Desa Lobu Tua, Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada 1873. Prasasti yang ditulis dalam bahasa Tamil itu berasal dari tahun Saka 1010 (1088 Masehi) dan memuat catatan perdagangan internasional yang menjadikan Barus sebagai simpul kosmopolitan awal Nusantara.
Namun di balik catatan dagang itu, terselip kalimat penting: “Varus anak Matankari.”
Barus sebagai “anak” dari Matankari
Barus, atau yang dalam teks prasasti disebut Varocu (Varus), dikenal luas sebagai pelabuhan tertua di Nusantara. Sejak awal abad pertama Masehi, Barus sudah tersohor sebagai penghasil kapur barus—komoditas berharga yang diperdagangkan hingga Timur Tengah, India, bahkan Eropa. Jejak ini menunjukkan betapa strategisnya Barus sebagai pintu dunia. Bahkan 3000 SM Barus sudah diberinteraksi dengan Mesir yg menggunakan Kapur Barus untuk alat memumikan Raja Firaun.
Namun yang menarik, prasasti menyebut Barus bukan sekadar pelabuhan berdiri sendiri, melainkan “anak” dari Matankari. Di sinilah letak tafsir kebudayaan yang penting: bahwa pusat peradaban sebenarnya bukan di garis pantai, melainkan di pedalaman Sumatera—tepatnya di dataran tinggi Bukit Barisan.
Matankari: Pusat Saka, Pisaka dan Limbaga
Dalam tradisi lisan, Matankari dipandang sebagai pusat saka pisaka (pusaka leluhur) dan limbaga (aturan dan lembaga adat). Dari kawasan inilah lahir sistem kekerabatan matrilineal yang mewarnai sebagian besar masyarakat Sumatera tengah, Jambi, Sumatera Barat dan Riau (darat). Inilah pusat kaum ibu satu-satunya dan terbesar di dunia. Tentu juga yg melahirkan sistem patrilineal yang berlaku di luar Sumatera Tengah.
Jika Barus adalah pintu keluar ke dunia, maka Matankari adalah “rumah asal”—pusat ideologi, spiritualitas, dan tatanan sosial yang menopang kehidupan masyarakat pedalaman. Dengan kata lain, Matankari adalah induk, Barus adalah anaknya.
Jejak dalam Prasasti
Prasasti Lobu Tua tidak hanya memuat catatan serikat dagang Tamil “The Five Hundred of a Thousand Directions”, tetapi juga menyinggung struktur sosial setempat. Penyebutan Varus anak Matankari bisa ditafsirkan sebagai pengakuan bahwa aktivitas kosmopolitan di pelabuhan tetap berakar pada legitimasi budaya dan kekuasaan pedalaman.
Dengan demikian, prasasti ini memperlihatkan keseimbangan: laut dan darat, perdagangan dan adat, anak dan induk. Narasi ini sekaligus meruntuhkan pandangan sempit yang hanya melihat pelabuhan sebagai pusat sejarah, tanpa menilik hulu peradaban yang melahirkannya.
Membaca Ulang Sejarah Riau dan Sumatera
Bagi Riau dan Sumatera tengah, temuan ini sangat relevan. Selama ini, narasi budaya Melayu lebih sering diposisikan dalam bingkai patrilineal yang berakar pada tradisi pesisir kepulauan dan Malaka. Padahal, prasasti Lobu Tua memperlihatkan bahwa tradisi matrilineal dari pedalaman justru menjadi induk, tempat kelahiran peradaban yang menurunkan Barus sebagai pelabuhan dunia.
Artinya, jika ingin adil pada sejarah, kita perlu mengakui bahwa kebudayaan matrilineal bukan sekadar varian lokal, melainkan fondasi besar dalam bangunan sejarah Sumatera.
Penutup
Membaca kalimat sederhana “Varus anak Matankari” dari Prasasti Lobu Tua bukan hanya soal filologi, tetapi juga sebuah upaya mengembalikan pusat sejarah ke asalnya. Barus memang kosmopolitan, tetapi ia lahir dari rahim Matankari—pusat pusaka, lembaga, dan adat yang menata kehidupan di pedalaman Sumatera.
Dari sinilah kita bisa menarik benang merah: bahwa identitas budaya di Sumatera tengah khususnya Riau, tak boleh dipandang hanya dari pantai dan pesisir, melainkan berawal dari dataran tinggi bukit barisan yang menjadi induk peradaban.





