Penulis: Amirullah Syahruddin (ketua komite sastra DKK / Eks penggiat budaya Kemendikbud Ristek RI)
Musyawarah Seniman Daerah (Musenda) Dewan Kesenian Riau yang akan digelar pada 5–6 September 2025 tidak boleh lagi dijalankan secara terburu-buru. Musenda bukan sekadar agenda administratif untuk mengganti kepengurusan. Musenda adalah forum strategis, tempat arah kesenian Riau lima tahun ke depan dirumuskan bersama.
Itulah sebabnya Musenda tidak boleh berhenti pada “asal selesai, asal terpilih”. Setelah Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pengurus lama disampaikan dan forum menentukan sikap (diterima atau ditolak), agenda Musenda harus berlanjut ke pleno pembahasan AD/ART, program kerja, dan rekomendasi strategis.
Pleno ini sangat penting. Pertama, untuk memastikan AD/ART dijalankan dengan benar, bukan diabaikan. Kedua, untuk menyusun program kerja yang relevan dengan kebutuhan seniman dan tantangan zaman. Ketiga, untuk merumuskan rekomendasi yang bisa menjadi pedoman kerja kepengurusan baru.
Barulah setelah itu, Musenda dapat melangkah ke agenda berikutnya: pemilihan pengurus baru periode 2025–2029. Pemilihan yang dilakukan setelah evaluasi dan perumusan strategi akan melahirkan kepemimpinan yang paham tujuan DKR, yakni menjadi rumah seniman yang mampu bersinergi dengan visi-misi Pemerintah Provinsi Riau di bawah Gubernur Wahid, yang berharap kesenian dapat berkembang sebagai bagian dari industri kreatif.
Kita harus ingat: sumber dana DKR berasal dari APBD Provinsi Riau dan CSR BUMD, seperti Bank Riau Kepri Syariah. Artinya, setiap rupiah yang dikelola DKR adalah dana publik. Karena itu, LPJ bukanlah ritual formalitas, melainkan kewajiban moral dan hukum. Tanpa LPJ yang transparan dan divoting oleh forum, DKR kehilangan akuntabilitas, mengabaikan AD/ART, dan mencederai kepercayaan masyarakat.
Dan lebih jauh lagi, menjalankan LPJ dengan jujur dan terbuka adalah bagian dari amanah sejarah. Inilah yang dicita-citakan oleh para pendiri dan pendahulu DKR: sebuah lembaga yang lahir dari semangat kebersamaan, menjunjung musyawarah, dan berpihak pada kepentingan seniman.
Karena itu, panitia Musenda jangan sekali-kali berdalih bahwa forum ini harus dipercepat atau disederhanakan hanya karena dana terbatas. Justru karena dananya bersumber dari publik, setiap tahap Musenda harus dilaksanakan dengan serius, transparan, dan bermartabat. Mempercepat Musenda demi alasan dana sama saja dengan merendahkan seniman, mengkhianati AD/ART, dan menodai warisan para pendahulu DKR.
Musenda 2025 harus menjadi titik balik: forum yang berani mengevaluasi, berani membenahi, dan berani melahirkan pemimpin baru yang benar-benar berpihak pada seniman. Hanya dengan begitu, DKR bisa kembali ke marwahnya—sebagai rumah seniman, bukan sekadar lembaga formalitas yang kehilangan akar budaya dan identitas.





