JAKARTA (Beritadigital) – Sidang kasus penembakan laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek menghadirkan ahli ilmu kepolisian dari Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Kombes Purn Dr Warasman Marbun SH MH. Warasman mengungkap doktrin internasional yang menilai lebih baik penjahat mati daripada petugas.
Warasman dihadirkan sebagai ahli yang meringankan dari pihak terdakwa Ipda Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan. Awalnya Warasman mengatakan ketentuan penggunaan senjata diatur dalam Pasal 47 Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009. Ketentuan pasal tersebut salah satunya mengatur senjata api bagi petugas boleh digunakan untuk dalam hal menghadapi keadaan luar biasa dan untuk melindungi nyawa manusia.
Berikut ini bunyi Pasal 47 ayat 1 dan 2 Perkapolri tersebut:
- Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
- Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
- dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
- membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
- membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
- mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
- menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
- menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
“Nah di ayat 2 ditekankan senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk dalam hal menghadapi keadaan luar biasa. Jadi keadaan luar biasa itu bisa terjadi yang ini bisa dialami oleh anggota Polri baik di lapangan terbuka, baik di dalam rumah misalnya apabila penggeledahan, apabila di dalam mobil atau dimana saja,” kata Warasman Marbun dalam sidang di PN Jaksel, Selasa (18/1/2022).
Sementara itu, Warasman menjelaskan soal keadaan yang dinilai sebagai keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa misalnya ketika tindakan seorang penjahat dinilai telah membahayakan nyawa petugas atau rekan yang lain.
“Kenapa disebut luar biasa karena petugas di sini ini sudah sangat ekstrem, sudah sangat membahayakan, skala merah ‘kalau saya tidak bertindak dengan tegas maka saya akan mati atau temanku yang mati atau orang lain’,” kata Warasman.
Kemudian jaksa mencecar ahli mengenai penggunaan senjata api, apakah dapat dilakukan pelumpuhan terlebih dulu (korban dilucuti terlebih dulu) atau dapat langsung dilakukan tindakan yang mematikan. Warasman mengatakan penindakan pelumpuhan dapat dilakukan apabila serangan tersebut tidak tiba-tiba, misalnya dalam kondisi demonstrasi dimana terdapat massa aksi anarkistis yang akan dibubarkan kepolisian, polisi secara bertahap memberikan imbauan agar massa membubarkan diri hingga akhirnya muncul tembakan peringatan dari kepolisian.
“Jadi serangan tidak tiba-tiba misalnya unjuk rasa ada kejadian anarkis, anggota Polri sudah bersusah payah, kemudian ada imbauan di pengeras suara diberikan peringatan ‘Kami anggota Polsi mengingatkan apabila tidak melaksanakan ini… maka kami akan melaksanakan… baru ditembak ke atas bisa sampai tiga kali, itu namanya yang tidak tiba-tiba, sudah sekian lama waktunya,” ujarnya.
Sedangkan yang dimaksud keadaan luar biasa, misalnya jika serangan dilakukan tiba-tiba. Ia mencontohkan misalnya terdapat serangan secara tiba-tiba dengan cara merampas senjata api petugas kepolisian yang sedang melaksanakan penyelidikan, maka menurutnya hal tersebut sudah termasuk adalah salah satu tindakan melawan petugas.
“Nah tapi (serangan) yang tiba-tiba, biasanya itu lagi ngobrol-ngobrol, tiba-tiba direbut (senjata), nah ini dari yang tiba-tiba itu disebut ekstrem dalam hukum kepolisian. Maka kalau sudah begitu… senjatanya di sini hanya kuat kuatan, teori ade kuat namanya, siapa yang lebih kuat mempertahankan maka dia menang. Jadi di situ namanya… tidak ada lagi alasan karena sudah sangat terdesak dan sangat terpaksa, pasti ada korban salah satu.
Ia menyebutkan, jika ada tenggang waktu atau serangan tidak dilakukan secara tiba-tiba, dapat dilakukan pelumpuhan oleh petugas. Tetapi, jika membahayakan petugas secara tiba-tiba, dapat dilakukan tindakan tegas.
Hal tersebut menurutnya ada di dalam doktrin internasional yang mengungkap lebih baik penjahat yang menjadi korban daripada petugas kepolisian.
“Kalau misalnya masih ada tenggang waktu, tidak tiba-tiba, tidak sekonyong-konyong, maka itu bisa saja dilumpuhkan. Tapi kalau pelatuk itu sudah di tangan yang merebut, nah itu tidak ada yang keliru, maka saya sebutkan tadi dalam doktrin internasional dari pada petugas mati lebih bagus ‘penjahat’ mati, karena itu kesalahan ekstrem sudah,” ujarnya.
“Jadi kalau ‘tiba-tiba’, tidak lagi dilumpuhkan bisa tembak, tapi kalau ‘tidak tiba-tiba, itu masih ada tenggang waktu untuk mengingatkan. Apalagi yang merebut senjata itu paling fatal,” ujarnya.
Akan tetapi saat ditanyai jaksa dari mana doktrin internasional tersebut, Warasman mengatakan doktrin tersebut dia kutip dari pendapat berbagai ahli yang dia catat. Ia mengatakan sumber hukum bisa berasal dari peraturan maupun dogma ataupun doktrin.
“Ini salah satu doktrin dari beberapa ahli yang menyangkut dengan tugas-tugas kepolisian,” kata Warasman.
Diketahui, Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan didakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian dalam kasus Km 50. Kedua polisi itu sebenarnya didakwa bersama seorang lagi, yaitu Ipda Elwira Priadi, tetapi yang bersangkutan sudah meninggal dunia karena kecelakaan.
“Bahwa akibat perbuatan Terdakwa (Ipda Yusmin) bersama-sama dengan Briptu Fikri Ramadhan serta Ipda Elwira Priadi (almarhum) mengakibatkan meninggalnya Luthfi Hakim, Akhmad Sofyan, M Reza, dan M Suci Khadavi Poetra,” ucap jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (18/10/2021). (detik)