JAKARTA (Bertidigital) – Komnas Perempuan mendesak polisi agar konsumen dari prostitusi online artis Cassandra Angelie diungkap oleh pihak kepolisian dan berharap konsumennya bisa dikenai pidana. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan kebijakan kriminalisasi itu adalah hak DPR-Presiden untuk merumuskannya.
Jauh sebelum kasus Cassandra, kasus serupa pernah menjerat Robby Abbas pada 2015. Saat itu Robby dihukum 16 bulan penjara di kasus muncikari artis dengan dikenai Pasal 296 KUHP.
Robby tidak mau masuk penjara sendirian. Ia juga berharap konsumen yang menikmati artis yang ia jajakan juga masuk penjara. Namun, Robby terbentur Pasal 296 KUHP yang hanya memidanakan muncikari, sedangkan penikmatnya tidak bisa dipenjara. Pasal itu berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Tapi harapan itu kandas. MK menolak permohonan itu seluruhnya.
“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan MK yang dikutip detikcom, Minggu (2/1/2022).
“Persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana dimana kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang,” beber 9 hakim konstitusi dengan bulat.
Apalagi yang dipersoalkan dalam permohonan a quo adalah tentang pidana yang berkait dengan penghukuman terhadap orang/manusia. Jadi DPR, meskipun memiliki kewenangan untuk itu dalam merumuskan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit), harus sangat hati-hati.
MK menegaskan kebijakan kriminalisasi itu adalah hak DPR dan Presiden untuk merumuskannya dalam UU atau merevisi KUHP.
“Menyatakan suatu perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana harus mendapat kesepakatan dari seluruh rakyat yang di negara Indonesia diwakili oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden. Dengan demikian, maka dalam hubungannya dengan permohonan a quo, persoalannya adalah bukan terletak pada konstitusionalitas norma melainkan pada persoalan politik hukum dalam hal ini politik hukum pidana,” beber majelis.
Selain itu, kata MK, telah menjadi pengetahuan bagi kalangan ahli hukum bahwa kehati-hatian dalam merumuskan hukum pidana sangat dibutuhkan karena sifat khusus yang dimiliki oleh hukum pidana itu, yaitu adanya penderitaan yang bersifat khusus (bijzondere leed) dalam bentuk hukuman kepada pelanggarnya yang mencakup pembatasan atau perampasan kemerdekaan, bahkan nyawa. Oleh karena itulah hukum pidana diposisikan sebagai ‘obat terakhir’ (ultimum remedium) untuk memperbaiki perilaku manusia, setelah didahului oleh pemberlakuan norma hukum maupun norma-norma kemasyarakatan lainnya.
“Demikianlah sehingga kehati-hatian bukan hanya diperlukan dalam merumuskan perbuatan apa yang dilarang dan dapat dipidana (ius poenale, strafrecht in objectieve zin) tetapi juga karena dari rumusan itu akan ditentukan hak negara untuk menghukum (ius puniendi, strafrecht in subjectieve zin) sehingga negara benar-benar terbebas dari ‘tuduhan’ main hakim sendiri. Dalam hubungan ini penting kiranya untuk selalu diingat pernyataan ahli hukum pidana Hezewinkel – Suringa ‘Noch aan de staat, noch aan der logere publiekrechtelijke organen komt op strafrechtelijk terreein eigenrichting toe’ (Dalam bidang hukum pidana, baik negara maupun suatu badan, yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainnya, tidak berwenang main hakim sendiri),” terang majelis pada 5 April 2017. (detik)