Sejak tahun 2017, ribuan etnis Kazakh yang beragama Islam ditahan di kamp ‘re-edukasi’ di China. Orang-orang yang keluar dari kamp tersebut menyatakan mereka mengalami penyiksaan selama di sana.
Kebayakan dari anggota etnis Kazakh ini tinggal di perbatasan dengan China, dan mereka menjadi pelintas batas selama berabad-abad.
Namun belakangan pemerintah China menangkapi para pelintas batas Kazakh ini dan membawa mereka untuk menjalani re-edukasi di berbagai kamp yang ada di Provinsi Xinjiang.
‘Sekolah kejuruan’
Para saksi mata yang keluar dari kamp itu menyatakan, di depan ‘sekolah’ tersebut ada tulisan ‘sekolah kejuruan’ dalam bahasa China dan Uyghur.
Pemerintah China menyatakan sekolah-sekolah itu adalah sekolah kejuruan yang ditujukan memberi pelatihan, dan para pelajar masuk ke dalamnya secara sukarela.
Namun seorang Muslim Kazakh bernama Orinbeck yang pernah ditahan di sekolah itu selama empat bulan menceritakan pengalamannya.
“Saya harus mempelajari kebijakan-kebijakan pemerintah China, saya harus belajar bahasa dan sejarah China,” katanya.
“Kami juga harus melupakan bahasa Kazakh. Kata mereka, kalau saya tidak belajar lagu-lagu dan aksara China, maka saya tak boleh meninggalkan tempat itu,” kata Orinbeck lagi.
Seorang perempuan Kazakh, Gulzira, pernah ditahan di sana selama 15 bulan.
“Itu bukan sekolah. Itu penjara,” katanya. Gulzira juga mengaku bahwa ia diberi suntikan sesudah tinggal di kamp itu selama tiga bulan.
Ia tidak pernah tahu untuk apa suntikan itu. “Kalau menolak, mereka akan dikirim ke kamp yang lebih keras lagi,” katanya.
Disiksa
Penyiksaan juga kerap terjadi di dalam kamp tahanan tersebut.
Tursinbeck mengaku disiksa selama berada di sana. Katanya, ia dibawa ke ruang bawah tanah yang disebut ‘zindan’ di mana kantungnya diperiksa.
Arloji dan ikat pinggangnya kemudian disita, tanpa ia tahu mengapa.
Ia kemudian dibawa ke ruang bawah tanah, sedalam 20 meter dari permukaan tanah.
“Saya dipukul di bagian telinga,” katanya. “Sehingga saya kehilangan keseimbangan.”
Penyintas lain bernama Orinbeck juga mengaku disiksa.
“Saya diikuti ke toilet. Kalau saya mencuci tangan dan muka (untuk berwudhu) mereka akan membentak saya: mengapa kamu minum air!” kata Orinbeck. “Lalu mereka akan memukul saya”.
Orinbeck mengaku ia sering disuruh membuka baju sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.
“Lalu mereka akan menyiram saya dengan air. Bahkan saya tak tahu itu air atau apa”.
Selama tiga bulan Orinbeck diperlakukan seperti itu, ia merasa putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya.
‘Kerja paksa‘
Kedutaan Besar China di London menyatakan kepada BBC bahwa penyiksaan semacam itu adalah ‘desas-desus semata’. Mereka juga mengatakan seluruh ‘peserta pelatihan’ telah dilepaskan dari sekolah tersebut.
Menurut pemerintah China, para lulusan sekolah ini telah memperoleh ‘dukungan’ untuk mendapat pekerjaan.
Namun orang-orang yang berhasil selamat dari kamp menyatakan bahwa pekerjaan itu adalah ‘kerja paksa’.
“Ketika saya dilepaskan, saya harus melapor kepada polisi,” kata Turinbeck, salah seorang penyintas.
“Saya diberi topi polisi, pentungan dan rompi anti peluru. Lalu kami harus berpatroli menjaga lingkungan dari pukul 7 pagi hingga 10 malam. Selama itu kami tidak diberi makanan atau upah,” tambahnya.
Gulzira juga menceritakan soal kerja paksa itu. Ia dipaksa untuk bekerja di pabrik untuk menjahit sarung tangan. Ke manapun ia pergi, ia harus melapor kepada polisi desa.
“Jika tidak, mereka akan menuduh saya anti pemerintah. Dengan alasan itu, saya bisa dibawa kembali ke kamp,” katanya.
Hilang
Sekalipun sudah dibebaskan, tetapi hingga saat ini, ratusan Muslim Kazakh belum kembali ke rumah mereka.
Seorang perempuan Kazakh, Gulnur, mengaku suaminya ditahan di kamp itu sejak Oktober 2017.
Gulnur mengatakan suaminya ditahan karena, “di telepon genggamnya ditemukan aplikasi WhatsApp”.
Suami Gulnur kini sudah kembali ke rumah, tetapi ia dikenakan tahanan rumah.
Dibantu oleh kelompok hak asasi manusia Atajurt, Muslim Kazakh kini melancarkan kampanye untuk mencari anggota-anggota keluarga mereka yang masih hilang.
Mereka mengedarkan video secara daring untuk membuat dunia sadar apa yang terjadi dengan etnis Kazakh yang tinggal di perbatasan dengan China.
Gulzira merasa bersyukur bisa keluar dari kamp tersebut.
“Mereka memaksa saya untuk meninggalkan identitas saya. Tapi identitas saya tidak berubah. Saya tetap seorang Muslim, seorang Kazakh,” katanya.
“Saya bangga menjadi Kazakh. Allah telah menyelamatkan saya”.
Sumber : BBC Indonesia