Jakarta – Kementerian Pariwisata berkolaborasi dengan para jurnalis untuk mencanangkan jurnalisme yang ramah pariwisata melalui Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Kila Senggigih Beach Lombok.
Pakar Komunikasi Politik, Kadri mengatakan media yang berfungsi sebagai pemberi informasi, Pendidikan, penghibur, pengontrol sosial, dan berperan sebagai lembaga ekonomi dalam fungsi bisnis. Dengan fungsi tersebut, idealnya media bisa memberi manfaat bagi pembangunan pariwisata dan bahkan bisa menghambat perkembangan pariwisata.
“Kenyataan antara bencana dan media. Apa yang diberitakan media, adalah yang dipotret media. Diharapkan sebuah pencitraan yang bagus antara jarak kenyataan dan pemberitaan yang tidak jauh. Ide tentang jurnalisme ramah pariwisata sangat bagus, dalam ramah yang harus aktif. Dituntun harus aktif harus disediakan forum yang di kasih tahu tentang pemberitaan yang baik-baik,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (19/12/2018).
Ditambahkannya, isi media juga dipengaruhi banyak kepentingan internal dan kepentingan eksternal serta kepentingan individu sampai kepentingan ideologis.
Menurut Kadri, media tradisional dengan media siber memiliki perbandingan seperti sumber informasi, arahan informasi, jangkauan, kecepatan, akses, relasi pengguna, posisi audience, peluang dominasi.
“Kalau media tradisional itu tunggal, satu arah, terbatas, lambat, pada waktu terbatas, ada jarak atau tidak bisa interaktif hanya sebagai konsumen, ada karena sumber tunggal. Bedanya dengan media siber itu banyak, dua arah atau banyak arah, luas, cepat, tidak terikat waktu dan tempat, dekat dan bisa interaktif, konsumen sekaligus produsen, tidak ada karena banyak sumber,” jelasnya.
Kadri menambahkan, pentingnya citra dan image suatu negara yang salah satunya ditentukan oleh image pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara ke suatu negara, membuat tersebut berstatus aman.
Kadri pun membahas pentingnya publikasi media untuk branding pariwisata. Terutama di media online yang menjadi sarana branding yang strategis. Dijelaskannya, melibatkan media dalam pembangunan pariwisata adalah keniscayaan.
“Harus dimaknai sebagai bentuk kepedulian, sehingga bisa juga disebut jurnalisme peduli pariwisata. Hal ini juga bisa membantu promosi pariwisata lewat publikasi dan memberi masukan atau catatan membangun di bidang pariwisata lewat forum terbatas,” imbuhnya.
Sedangkan Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Auri Jaya dalam sambutannya mengatakan tahun ini ada dua hal yang disorot oleh Persatuan Wartawan Indonesia. Selain membangun produk jurnalistik yang ramah anak, para wartawan juga dituntut untuk ramah pariwisata. Hal ini diterjemahkannya dengan membuat sebuah panduan meliput berita-berita tentang bencana.
“Harus dibedakan media konvensional dan media sosial. Kita bergerak dengan rambu-rambu kode etika yang jelas. Tidak begitu halnya dengan media sosial yang bergerak tanpa aturan,” tegas Auri.
Auri berharap, FGD kali ini bisa melahirkan sebuah pencerahan bahwa media sosial juga harus memiliki aturan-aturan yang tertuang dalam kode etik.
“Media sosial selama ini menjadi lahan subur bagi berkembangnya berita-berita hoax. Dengan adanya kode etik dalam hal pemanfaatannya, penyebaran berita bohong bisa diminimalisir dan muaranya pada semakin berkembangnya pariwisata Indonesia,” tandasnya.
Sedangkan Staf Khusus Menteri Pariwisata Bidang Komunikasi dan Media Don Kardono berharap media tampil sebagai pengawal pariwisata.
“Kita berharap pariwisata menjadi garda terdepan dari pariwisata. Sebagai ujung tombak untuk memperkenalkan potensi wisata Indonesia,” katanya.
Hal senada disampaikan Menteri Pariwisata Arief Yahya. “Media dan pariwisata tidak bisa dipisahkan. Kemajuan dan perkembangan pariwisata akan semakin masif dengan adanya kerja sama dari media. Untuk itu, media juga harus memahami dunia pariwisata. Ada sinergi dengan pemerintah. Itulah cara untuk memajukan pariwisata Indonesia,” paparnya.
Sumber : Detik Travel