JAKARTA (Outsiders)– Direktur Jendral Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah mengatakan, mengatasi sampah di laut harus diawali dengan sifat tegas di daratan. Sebab, 70 hingga 80 persen sampah di laut berasal dari aktivitas daratan.
Salah satu upaya yang sudah dilakukan pemerintah melalui Kementerian LHK adalah merangkul industri untuk terlibat dalam mengurangi penggunaan plastik. Melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER), sebanyak 156 perusahaan telah mendeklarasikan diri untuk meminimalisir bahkan mencegah penggunaan plastik sama sekali.
“Mereka sudah deklarasi per 31 Oktober dan akan kami dorong terus komitmennya,” ujar Karliansyah ketika ditemui Republika di kantornya, Jakarta, Selasa (27/11).
Sebanyak 156 perusahaan tersebut sudah berkomitmen untuk tidak menggunakan plastik di lingkungan kantor. Karliansyah mengatakan, belum ada penerapan sanksi dari pemerintah apabila mereka melanggar. Tapi, sanksinya lebih kepada hukuman moril, karena mereka sudah mendeklarasikan diri.
Karliansyah mengakui, menggaet industri untuk terlibat dalam mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan lebih mudah dibanding dengan masyarakat. Ia menjelaskan, upaya paling efektif dalam menggaet masyarakat adalah memberikan contoh sukses dan memastikan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Tapi, Karliansyah menuturkan, pemerintah pusat sulit untuk menjangkau semua daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat meminta keterlibatan aktif dan intensif dari pemerintah daerah.
Beberapa daerah seperti Banjarmasin, Balikpapan dan Bogor sudah mengeluarkan peraturan daerah untuk meminimalisir penggunaan plastik. Pada awal 2019, Bali akan mengikuti penerapannya.
“Kalau bisa menyebar ke daerah lain, target kita untuk mengurangi timbunan sampah pada 2030 seharusnya dapat tercapai,” ucap Karliansyah.
Selama ini, Karliansyah menambahkan, pemerintah pusat sudah mendorong pemerintah daerah untuk membuat pusat daur ulang sampah dan bank sampah. Di Balikpapan, misalnya, ada halte sampah. Masyarakat memisahkan sampah ke sembilan jenis yang tiap pekan akan diambil oleh penghasilnya. Sistem ini juga dikenal sebagai circular economy.
Di tingkat pusat, pemerintah sudah mencanangkan rencana untuk menjadikan sampah sebagai campuran aspal dan bioenergi. Hanya saja, menurut Karliansyah, tantangan terbesar saat ini adalah sumber daya manusia pengumpul sampah yang teredukasi dengan baik.
“Terkadang, masyarakat sudah memisahkan sampah per jenis, tapi mereka mencampurkannya lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira mengatakan, penanggulangan sampah plastik paling tepat saat ini adalah mendorong pengurangan plastik dari sumbernya. Sebab, daur ulang yang selama ini dicanangkan banyak pihak tidak memberikan pengaruh signifikan.
Tiza mencatat, dalam skala dunia, setidaknya hanya sembilan persen sampah plastik yang benar mengalami daur ulang. Di Indonesia sendiri, hanya tujuh persen yang utamanya disebabkan pengelolaan sampah kurang tepat.
“Pemahaman yang ditanamkan pada masyarakat Indonesia bahwa plastik bisa didaur ulang tidak sepenuhnya benar,” tuturnya saat mengisi diskusi bertajuk Disruption in Sustainable Environment dalam acara Disrupto 2018 di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat (23/11).
Di samping faktor pengelolaan sampah yang kurang baik, juga ada fakta bahwa plastik tertentu memang tidak mudah didaur ulang. Misalnya, tutup botol dalam minuman kemasan plastik dan label yang menempel di badan botol. Melihat kondisi ini, Tiza menjelaskan, upaya paling tepat adalah mengurangi atau bahkan menghentikan penggunaan plastik dari sumbernya.
Penekanan itu tidak hanya berlaku kepada masyarakat melalui sosialisasi, melainkan juga regulasi. Beberapa pemerintah daerah telah menerapkan kebijakan plastik berbayar, seperti Banjarmasin dan Balikpapan. Bogor dan Bali akan menyusul dalam waktu dekat.
Sumber : REPUBLIKA